Jumat, 06 Januari 2012

Etika KristenPDFPrintE-mail
Written by Aripin Tambunan   
Saturday, 14 November 2009
Article Index
Etika Kristen
Page 2
Page 3
Page 4
Page 5
Page 6

Keterbatasan Etika Alamiah
Bagaimana seseorang dapat mengetahui bahwa tindakan yang ia lakukan itu “benar” atau “salah”? Berkaitan dengan itu, telah ada empat teori yang dibangun, yaitu: pertama, tindakan itu dapat dikatakan “benar” dan “salah” karena Tuhan yang menentukannya melalui sabda-Nya. Kedua, manusia memiliki “kesadaran moral” dan “intuisi”, sehingga dapat langsung mengetahui apakah itu “benar atau “salah”. Ketiga, aturan etika adalah hasil evolusi social yang datang secara berangsur-angsur, sehingga aturan etika muncul dan berkembang dalam rangka menjawab kebutuhan akan kedamaian dan kerjasama social. Keempat, etika adalah hanyalah ilusi, sebagaimana yang dikembangkan oleh etika nihilism dan skeptisisme.[3]
            Dua metode pendekatan teori etika yang ada, yaitu: teori identifikasi dengan metode induktif (aposteriori) dan teori pengujian pertimbangan moral dengan metode deduktif (apriori).[4] Teori identifikasi menganalisa apakah pertimbangan etis seseorang atas perilaku atau perbuatannya dapat dikatakan “benar” atau “salah”. Dan apakah pertimbangan tersebut berlaku umum dan tidak berubah-ubah (ajek). Bila berlaku umum, dengan mempergunakan prinsip atau kaidah seperti apa? Sementara teori pegujian pertimbangan moral, bersifat menguji teori etika yang telah ada. Seseorang tidak mempergunakan teori yang sudah ada untuk melihat dan menerapkan pertimbangan etis, tetapi menguji teori tersebut dengan pemahaman etis yang ia dapatkan melalui pertimbangan tentang tujuan etika tersebut. Jika tujuan telah di dapat, maka perlu mendefenisikan kaidah-kaidah apa yang dipergunakan untuk mencapai tujuan tersebut.
            Berkaitan dengan judul tulisan ini, maka teori etika yang ingin diperlihatkan keterbatasannya adalah teori yang kedua dari empat teori di atas, yakni teori etika alamiah. Di mana manusia memiliki kesadaran moral dan intuisi untuk dapat melakukannya secara langsung dalam berkehidupan. Etika alamiah sebagaimana yang diungkapkan oleh Magnis Suseno mengatakan, tak ada yang dapat mutlak mewajib kan sesuatu kepada saya kecuali kesadaran saya sendiri.[5] Alasannya adalah, karena tidak akan ada satu pertimbangan etis yang dihasilkan oleh masyarakat atau institusi manapun yang dapat langsung mengikat bathin seseorang tanpa melewati pintu kesadaran moralnya.[6]Kesadaran moral ini sebenarnya pertama-tama diungkapkan oleh Kant, dengan prinsip imperative kategoris[7] dan imperative hipotetis[8].
            Selanjutnya Magnis memberikan pernyataan-pernyataan yang terkandung di dalam kesadaran moral itu[9], yakni: norma-norma moral berlaku umum dan terbuka terhadap pembenaran dan penyangkalan.
            Melihat dua metode pendekatan teori etika di atas, maka etika alamiah masuk ke dalam metoda induktif (aposteriori). Sebab etika alamiah berusaha untuk mengidentifikasi pertimbangan etis seseorang melalui kesadaran moralnya. Identifikasi tersebut mewajibkan seseorang untuk melakukan yang “benar” yang berlaku umum dan menolak yang “buruk”, sehingga etika yang diejawantahkan seseorang datang secara alamiah dari dirinya sendiri.
      Etika pada awalnya tidak mungkin datang dari dalam diri seseorang, etika harus datang dari luar diri manusia itu sendiri. Sebab darimana ia peroleh aturan-aturan tersebut, tentu dari luar dirinya, apakah itu dari ayah/ Ibu, komunitasnya, budayanya, agama atau bangsanya. Tidak mungkin seseorang yang baru lahir, dapat memiliki etika tanpa keterlibatan pihak luar (ayah/ Ibu, lingkungan/ budaya, agama). Ia baru dapat mengembangkan etikanya sendiri ketika ia telah menjadi dewasa, tetapi sekalipun demikian, etika dasar (baca: bawaan) tetap sedikit banyaknya melekat pada orang tersebut. Dan saya kira seluruh system etika bersifat demikian, di bangsa manapun, dibudaya manapun, bahkan individu sekalipun. Hal ini senada dengan apa yang diutarakan oleh Andre Comte, bahwa etika datang kepada seseorang dari masa lalu yang berakar di dalam sejarah untuk masyarakat yang dimulai sejak masa kanak-kanak, namun tidak menutup kemungkinan untuk dikritisi bahkan dapat memberikan suatu inovasi dalam etika yang dipegangnya selanjutnya.[10]
Bila demikian, apakah ada etika alamiah? Alamiah yang dimaksud ialah yang datang langsung di dalam kesadaran diri seseorang tanpa melewati pembentukan dari masa kanak-kanak. Sudah barang tentu, itu tidak akan mungkin terjadi. Apalagi jika dirujuk ke masa awal penciptaan manusia (ini jika kita sependapat dengan teori penciptaan menurut wahyu), Adam manusia pertama, darimana ia memperoleh etika? Wahyu menjelaskan, dari Tuhan. Bukan saja karena ia diberi peraturan oleh Tuhan tentang bagaimana menjalani hidup di rumahnya (baca: taman Eden) yang diberikan Tuhan padanya, tetapi karena ia adalah gambar (prototype) Allah bagi dunia. Sebagaimana Allah yang memiliki sifat moral[11], pastilah Tuhan juga  menginginkan manusia yang adalah gambar dan rupa-Nya tersebut memiliki sifat moral seperti yang Ia miliki. Itulah sebabnya Tuhan memberikan peraturan-peraturan etika kepadanya, yang sesuai dengan apa yang ada di dalam diri Allah. Dengan demikian, etika apa yang ada di dalam diri manusia? Maka jawabnya etika Tuhan, yang telah Tuhan turunkan lewat wahyunya kepada manusia. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar