Rabu, 28 Maret 2012


Puasa
 

Pengantar
Saat ini, saudara-saudara kita yang beragama Islam tengah melakukan salah satu rukun Islam, yaitu puasa
 (1) , menyambut datangnya hari Idul Fitri.
Bagi umat Katolik, biasanya puasa atau pantangan (yaitu tidak melakukan atau makan dan minum sesuatu yang disukainya) dilakukan pada Masa Raya Paskah, yang berlangsung selama 40 hari. Masa ini dimulai dari Hari Rabu Abu, sebelum hari Minggu Sengsara I.
Sementara itu, bagi orang Kristen, puasa bukanlah sesuatu yang asing sebenarnya, sekalipun ada gereja-gereja yang tidak mengharuskan warga jemaatnya untuk berpuasa. Hal ini disebabkan karena belum adanya pemahaman yang utuh tentang puasa, sehingga seringkali muncul pertanyaan sbb: Mengapa kita sebagai orang Kristen tidak (mengharuskan) mempraktikkan puasa? Kalau ada yang mau berpuasa, apa saja yang harus dilakukan dan berapa lama waktunya?
Pertanyaan-pertanyaan inilah yang biasanya mengemuka dalam hidup keseharian dan akan dibahas bersama dalam Buletin Pembinaan edisi ke-7 ini. Pokok bahasan ini pernah disampaikan dalam Pemahaman Alkitab Jemaat pada bulan Maret yang lalu.

Praktik Puasa dalam Perjanjian Lama
Berpuasa dalam Alkitab pada umumnya berarti tidak makan dan tidak minum selama waktu tertentu (band. Est. 4:16; Kel. 34:28 – tidak makan dan minum), bukan melulu menjauhkan diri dari beberapa makanan tertentu. Dalam PL, hanya ada satu praktik puasa yang ditentukan, yaitu pada saat hari Pendamaian (hari pengampunan dosa – Im 16; 23:26-32). Saat itu, seluruh bangsa Israel merayakan hari itu dengan berpuasa dan beristirahat.
Sementara pada bagian-bagian lainnya, praktik puasa ini tidak jelas asal perintahnya. Misalnya dalam 1 Sam. 7:6 ketika Israel menghadapi Filistin, mereka mengaku dosa dan berpuasa. Ketika Nehemia mendengar situasi Yerusalem, ia berdoa dan berpuasa (Neh.1:4). Yoel menyuruh umat bertobat dan berpuasa (Yl. 2:12).
Puasa ini kadang-kadang bersifat perseorangan (mis: 2 Sam. 12:22) dan kadang-kadang bersama (Hak. 20:26; Yl. 1:14). Selain kewajiban hukum agama, biasanya ada dua alasan seseorang atau sekelompok orang berpuasa, yaitu: bukti lahiriah dukacita (1 Sam. 31:13; Est. 4:3; Mzm. 35:13-14) dan pernyataan pertobatan (1 Sam. 7:6; 1 Raj. 21:27; Dan. 9:3-4; Yun. 3:5-8
 
(2) ). Berpuasa juga kerap kali dilakukan dengan tujuan memperoleh bimbingan dan pertolongan Allah (Kel. 34:28; 2 Sam, 12:16-23; 2 Taw. 20:3-4; Ezr. 8:21-23). Ada juga orang yang berpuasa demi orang lain (Ezr. 10:6; Est. 4:15-17).
Dalam praktik puasa, ada orang yang berpikir bahwa tindakannya itu dengan sendirinya menjamin bahwa Allah akan mendengar (baca: mengabulkan) permintaannya (Yes. 58:3-4). Untuk menentang ini para nabi menyatakan bahwa tanpa kelakuan yang benar, tindakan berpuasa adalah sia-sia (Yes. 58:5-12; Yer. 14:11-12; Za. 7 – puasa disebut juga pantang). Di sini kita dapat melihat bahwa puasa juga merupakan suatu bentuk ibadah dan para nabi hendak meletakkan praktik puasa pada konsep ibadah yang benar: bukan untuk membenarkan atau keuntungan diri sendiri, tapi bagaimana ibadah itu ditampakkan dalam hidup sehari-hari: berbuat adil, memperhatikan janda dan anak yatim dsb.

Kesimpulan sementara: praktik puasa dalam PL merupakan suatu kewajiban hanya pada saat hari raya Pendamaian, sementara lainnya dilakukan pada saat berduka, pernyataan pertobatan atau memohon pertolongan Allah. Praktik puasa ini sebenarnya dilakukan dalam relasi antara manusia dengan Tuhan. Namun, yang juga tidak boleh dilupakan adalah relasi dengan Tuhan itu harus berdampak positif dalam relasi dengan sesama (mis: berlaku adil, mengasihi mereka yang menderita dsb.)

Praktik Puasa dalam Perjanjian Baru
Puasa juga dipraktikkan dalam PB, a.l: orang Yahudi (Hana, yang mungkin berpuasa secara rutin, Luk. 2:37)
, termasuk orang Farisi (beberapa orang Farisi secara ketat melakukan puasa dua kali seminggu, yaitu pada Senin dan Kamis, lih. Luk. 18:12)(3).
Yesus hanya sekali tercatat berpuasa dengan tidak makan dan minum selama 40 hari lamanya (Mat. 4:2) sebagai persiapan menghadapi godaan dan ujian. Sekalipun demikian, praktik puasa ini tidak diperintahkan kepada murid-murid-Nya dan juga para pendengar-Nya. Bukan berarti Yesus menolak praktik puasa, karena toh, Ia mengajar para pendengar-Nya supaya jika mereka berpuasa, mereka berhadapan dengan Allah bukan dengan manusia (Mat. 6:16-18).
Demikian pula ketika Yesus ditanyai, mengapa murid-murid-Nya tidak berpuasa, seperti murid-murid Yohanes Pembaptis dan orang-orang Farisi yang nyata-nyata berpuasa, dalam jawaban-Nya Ia tidak menolak puasa, tapi menerangkan bahwa puasa baru akan mereka lakukan bila Yesus telah pergi (Mrk. 2:20). Jadi, puasa menurut Yesus bukan lagi hukum agama tetapi kebutuhan penyiapan batin secara khusus bila bertobat dan diperlukan dalam menghadapi masalah khusus seperti kepergian-Nya atau dalam memerangi setan (Mat. 17:21; Mrk. 9:29).
Yesus tidak membenarkan orang Farisi yang menjalankan hukum agama, termasuk berpuasa, yang melakukannya dengan sombong, tetapi Ia membenarkan pemungut cukai yang kelihatannya tidak menjalankan puasa tetapi memiliki sikap hati yang benar di hadapan Allah (Luk. 18:9-14). Dalam Kisah Para Rasul, para pemimpin jemaat berpuasa sebelum mereka memilih utusan Injil (13:2-3) dan tua-tua (14:23). Hal ini menandakan, di dalam gereja mula-mula berkembang kepercayaan akan nilai lebih dari praktik berpuasa.

Kesimpulan sementara: dalam PB, praktik puasa juga dikenal. Namun, ada kecenderungan orang-orang yang berpuasa memiliki motivasi yang salah. Oleh karena itulah, Tuhan Yesus memaknai puasa sebagai penyiapan batin secara khusus dalam menghadapi situasi yang khusus pula. Itu pula yang dilakukan oleh jemaat mula-mula ketika mereka memilih utusan Injil dan mengangkat para penatua.

Puasa dan Hukum Agama
Dapat dikatakan bahwa puasa merupakan suatu ibadah. Mengapa dikatakan ibadah? Karena di dalamnya terkandung relasi yang intim antara orang yang berpuasa dengan Allah. Ada orang yang berpuasa sebagai pernyataan pertobatannya. Ada juga orang yang berpuasa karena berduka cita (sikap hati yang memandang kuasa Allah). Ada juga orang yang berpuasa sebagai persiapan diri menghadapi suatu tugas khusus (dari Allah). Karena puasa merupakan suatu ibadah, maka pelaksanaannya tidaklah dapat dipaksakan. Relasi dengan Allah adalah soal keyakinan pribadi dan tidak ada seorang pun yang dapat mengganggu gugat hal itu.
Demikian pula dalam PL maupun PB, secara umum puasa bukan merupakan suatu kewajiban yang harus dilakukan oleh umat. Namun, orang-orang Yahudi pasca pembuangan memahami bahwa pengalaman pembuangan ke Babel merupakan akibat kegagalan mereka dalam menjalankan Hukum Taurat dengan baik. Oleh karena itulah, mereka (baca: para ahli Taurat dan pemimpin agama lainnya) kemudian menetapkan Taurat dan hukum-hukum tafsirannya untuk dilaksanakan dengan ketat, termasuk berpuasa. Itulah sebabnya, orang-orang Farisi
 
(4) pada zaman Tuhan Yesus mempertanyakan para murid Yesus yang tidak berpuasa (Luk. 5:33)(5).
Namun permasalahannya adalah, jika puasa itu adalah ibadah apakah puasa perlu dilegalkan atau diwajibkan dalam hukum agama? Jika demikian kenyataannya, berarti relasi manusia dengan Allah adalah sesuatu yang dapat (bahkan harus) dipaksakan. Dari Alkitab, kita dapat melihat sejumlah catatan bahwa ketika puasa dijadikan hukum agama, maka makna puasa cenderung merosot sekadar suatu legalisme agama dalam bentuk syariat lahir tanpa isi, bahkan ada yang dilakukan sebagai suatu kesombongan diri.
Yesaya dengan jelas memberitahukan umat Israel (Yes. 58) bahwa orang bisa saja tidak melakukan puasa lahir, tetapi yang harus dilakukan adalah melakukan puasa batin, yaitu berpuasa dari kelaliman, menganiaya dan memperbudak orang. Berpuasa dari mengenyangkan diri sendiri menjadi memberi makan orang lapar, tidak punya rumah, dan yang telanjang (band. Mat. 25:31-46). Jadi, puasa itu pada dirinya sendiri tidak memiliki arti bila bukan merupakan ungkapan hati yang bertobat dan merendahkan diri di hadapan Allah.

Orang Kristen dan Puasa
Teladan yang sempurna bagi orang Kristen adalah hidup Yesus Kristus sendiri. Kalau begitu pernyataannya, apakah jika Yesus berpuasa, maka orang Kristen pun harus berpuasa? Pertanyaan ini memiliki konsekuensi yang tidak kecil. Jika memang apa-apa yang dilakukan Yesus adalah standar hidup yang juga harus dilakukan oleh orang Kristen, maka kita jangan berhenti hanya pada soal puasa. Tuhan Yesus menjalani kehidupan-Nya di dunia ini dalam rangka melaksanakan misi Allah. Untuk itu, Ia rela menjalani realitas penderitaan ketika akan disalib. Bahkan sebelumnya, Ia pun menunjukkan kehadiran Kerajaan Allah dengan memberi perhatian kepada orang-orang yang seringkali dipinggirkan dan tidak mendapat tempat dalam masyarakat, seperti: anak, perempuan, orang-orang berdosa, orang kafir, orang sakit dsb. Itu artinya, keseluruhan hidup Yesus adalah cerminan dari kehendak Allah: keadilan, kebenaran, kasih setia dan damai sejahtera. Jadi, kehidupan orang Kristen pun seharusnya meneladani kehidupan Yesus yang demikian.
Selain itu, marilah kita lihat lebih jauh pada apa yang dikatakan Alkitab tentang kehidupan Yesus. Perlu disadari bahwa penebusan Yesus di atas kayu salib telah menggenapi Hukum Taurat (PL) yang bergantung pada usaha manusia menyelamatkan diri sendiri dengan melakukan hukum agama secara ketat (sunat, korban, sabat, puasa, halal-haram dll), menjadi kasih karunia Allah yang diberikan kepada setiap orang yang percaya dan bertobat (Yoh. 3:16; Ef. 2:8-10). Karunia Allah ini menjadi sempurna dengan datangnya Roh Kudus yang akan menguatkan dan mendiami umat percaya yang digenapi pada hari Pentakosta (Kis. 2).
Jadi, kalau begitu apakah orang Kristen perlu menjalankan puasa? Berdasarkan pembahasan di atas, jawabannya adalah tidak dan ya. Orang Kristen tidak menjalankan puasa sebagai hukum agama ritual pada waktu-waktu tertentu yang ditetapkan, dan bisa saja puasa dilakukan sewaktu-waktu dengan sungguh-sungguh atas kemauannya sendiri
 
(6).Hal yang perlu diingat bahwa puasa adalah lambang hati yang bertobat dan merendahkan diri di hadapan Allah (7) . Dan sebagaimana halnya lambang, lambang tidak berarti bila yang dilambangkan (d.h.i pertobatan dan perendahan diri) tidak ada. Sebaliknya tanpa lambang juga tidak menjadi soal selama yang dilambangkan itu ada, sebab inilah hakekat puasa yang sebenarnya.

Kesimpulan

a. Puasa adalah ibadah (atau sebentuk disiplin spritual) guna menguasai nafsu kedagingan (“menyangkal diri”), sehingga kita lebih dapat peka dengan kehadiran Tuhan, lebih dekat dengan Dia.
b. Ada dua bentuk puasa yang bisa dilakukan, yaitu puasa lahir yang dilakukan secara periodik (dengan cara pantang makan-minum serta pantang melakukan hal-hal yang disukai) dan puasa batin yang dilakukan secara berkelanjutan (dengan cara pantang melakukan kelaliman, ketidakadilan, kekerasan, ketamakan dsb.).
c. Puasa adalah panggilan, bukan kewajiban. Karena itu puasa harus dilakukan dengan sukacita bukan karena terpaksa.
d. Puasa bukan ukuran kesalehan atau kerohanian seseorang. Orang yang menjalankan puasa tidak berarti dia lebih saleh atau lebih beriman dari mereka yang tidak berpuasa.
e. Puasa harus disertai dengan ketulusan hati; sebagai bagian dari ibadah kita kepada Tuhan. Karena itu jangan berpuasa demi mendapat pujian dari orang lain.
f. Puasa berkaitan dengan komitmen. Maka jenis dan bentuk berpuasa (mis. Pantang makanan; minum; dan berapa lamanya seseorang harus berpuasa) ditentukan oleh orang yang hendak berpuasa berdasarkan komitmen pribadinya dengan Tuhan; bukan ditentukan oleh aturan agama.
------------------------------------------------------------
1. Kata puasa berasal dari dua kata Sansekerta, yaitu: “upa” dan “wasa”. Upa adalah semacam prefiks yang artinya dekat, sedangkan wasa berarti Yang Maha Kuasa. Jadi upawasa, atau yang biasa dilafalkan puasa, merupakan suatu cara untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Puasa merupakan latihan mental untuk mengubah sikap dan kejiwaan manusia

2. Praktik puasa juga dikenal oleh bangsa lain di Timur Tengah, yaitu di Syria (Yun. 3:5-10). Rupa-rupanya puasa merupakan sebuah kebiasaan yang berlaku juga di daerah Timur Tengah.

3. Rupa-rupanya, pada zaman Tuhan Yesus – bahkan sebelumnya, puasa sudah dijadikan hukum agama Yahudi. Artinya adalah bahwa puasa adalah suatu kewajiban yang harus dipenuhi oleh orang-orang Yahudi.

4. Farisi adalah salah satu aliran dalam agama Yahudi yang berpegang teguh pada Hukum Taurat dan begitu gigih dalam melaksanakan Hukum Taurat dengan ketat.

5.Sebenarnya banyak pihak yang mempertanyakan hal ini, seperti: para murid Yohanes (Mat. 9:14) dan orang Yahudi kebanyakan (Mrk. 2:18).
6. Biasanya puasa dilakukan dengan melakukan pantang terhadap hal-hal yang disukai (bisa berupa makanan, kebiasaan spt: merokok, belanja dsb).

7.Hal ini perlu dicamkan karena ada orang yang berpuasa supaya keinginan dirinya terpenuhi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar