Kamis, 29 Desember 2011

Bagaimana Kristen Berpacaran
Bagaimana Kristen Berpacaran
(Kutipan buku. Penulis: Mangapul Sagala)

Pengantar:

Setelah kembali dari Singapura pada tahun 1991, saya sangat menikmati
perbincangan dengan sahabat dan teman-teman lama. Dari perbincangan
tersebut, salah satu pertanyaan yang sering saya tanyakan kepada mereka
adalah, "Kapan menikah?" Yang menarik adalah mendengar jawaban dari
kebanyakan mereka. "Ah si Abang, boro-boro menikah, calon aja belum
punya; cepat banget menikahnya?" Mendengar jawaban ini saya lanjutkan,
"Ha? Terlalu cepat menikah? Umurmu sudah berapa tahun?" Ada yang
menjawab, 27; 28 atau 29 tahun. Gawat, pikirku. Memang inilah rupanya
gejala umum pemuda kita. Saya jadi teringat ketika masih studi di
Trinity Theological College, ada dosen saya orang Amerika yang ketika
itu (tahun 1991)umurnya baru 36 tahun, tapi putrinya sudah SMP.
Sedangkan saya sendiri hanya setahun lebih muda dari padanya, anak saya
ketika itu didaftarkan di Taman Kanak-kanak pun belum diterima.

Terus terang, saya memang 'menyesali' waktu pernikahan saya yang
'terlambat'. Tapi, ketika saya berumur 27 tahun, saya pernah
mengungkapkan keinginan saya dengan bercanda kepada teman bahwa saya
akan menikah. Tahu reaksi mereka? Sebagian besar mentertawakan. "Ha? Mau
menikah? Cepat amat?" Seorang yang saya anggap sebagai kakak rohani
bernyanyi mendengar hal itu sambil ngeledek, "Too young to be married."
Itulah sebabnya saya pun merasa sejahtera untuk 'tidak terburu-buru.'
untuk menikah. Tokh saya berpikir bahwa lingkungan mengajarkan demikian.
Tetapi kemudian saya baru menyadari bahwa dilihat dari banyak segi,
pandangan tersebut tidaklah benar. Khususnya, ditinjau dari segi anak.
Tegakah kita 'menelantarkan' anak-anak kita oleh karena kita
dipensiunkan sementara mereka saat itu justru sedang membutuhkan kita?

Mengapa menunda-nunda pernikahan? Kalau ditanyakan mengapa orang
tersebut belum menikah, jawabannya bervariasi. Ada yang mengatakan
'belum siap'. Apanya yang belum siap? Materi? Kalau seorang belum
bekerja, jawaban tersebut wajar. Tetapi, kalau sudah, mengapa belum?
Saya kuatir ada orang yang memiliki konsep bahwa menikah harus dengan
cara begini begitu. Misalnya harus di tempat bergengsi yang menampung
sekian ratus bahkan sekian ribu orang. Menikah harus memiliki rumah
sendiri dan seterusnya. Kalau begitu, kita telah merusak pernikahan
tersebut. Karena kita telah menjadikan moment pernikahan menjadi arena
bergengsi-gengsian! Bila hal ini terjadi pada mereka yang belum menjadi
anak Tuhan (baca: belum mengenal ajaran Kristus) maklum sajalah. Tapi,
kalau terjadi pada anak-anak Tuhan, mantan anak-anak PSK (Persekutuan
Siswa Kristen), atau PMK (Persekutuan Mahasiswa Kristen), wah gawat!
Rupanya, gengsi masih cukup menguasai hidup anak-anak Tuhan. Tidak heran
jika dalam hidup persekutuan pun, khususnya di persekutuan alumni,
kelihatannya, tanda hidup bergengsi-gengsian itu pun telah masuk
(diimport dari dunia ini).

Sekali waktu saya bertemu anak Tuhan, seorang alumni yang sudah bekerja
dengan gaji di atas rata-rata. Dia pergi ke kantor dengan kendaraan
pribadi. Alumni tersebut sudah cukup lama punya pacar. Suatu kali saya
bertemu dengannya dan menanyakan, "Kapan menikah?" "Tunggu, masih lama,
belum siap," katanya. Lalu saya ajak dia terus mendiskusikan hal
tersebut. Ternyata, dibalik alasan tersebut, keberatan sesungguhnya
adalah karena ayahnya tidak ingin menikahkan dia dengan acara sederhana.
Ayahnya ingin acara besar yang memerlukan dana besar pula. Lalu saya
berkata dalam hati, "Sayang juga kamu menunda-nunda pernikahanmu
bertahun-tahun hanya karena sekedar ingin memuaskan ambisi (gengsi)
ayahmu untuk satu hari saja!"

Mengapa menunda-nunda pernikahan? Ataukah belum siap dari segi karakter
atau rohani? Seperti pengakuan orang lain lagi kepada saya. Kalau
begitu, "Apa yang selama ini dilakukan dalam pacaran? Seharusnya saat
berpacaran itu diisi dengan penyesuaian dan pembinaan karakter dan
kerohanian. Inilah tujuan berpacaran menurut saya, sebagaimana nanti
kita lihat pada bab berikutnya. Tapi, saya juga kuatir ada yang
beranggapan bahwa sebelum menikah keduanya mesti benar-benar cocok.
Kalau begitu, Anda keliru. Masa pernikahan merupakan masa saling belajar
dan saling menyesuaikan diri. Karena itu, saya setuju pendapat yang
mengatakan bahwa dalam hal pernikahan, "It's a learning process." Jika
kita memiliki pandangan seperti tersebut di atas, menurut pengamatan
saya, tidak akan pernah seseorang benar-benar cocok dengan partnernya.
Pasti akan ada segi-segi tertentu yang membuat kurang cocok. Maka
sebenarnya yang dibutuhkan adalah kemampuan untuk mengasihi partner
masing-masing sebagaimana dia ada, atau dengan apa adanya. Selanjutnya
dalam proses pernikahan, dituntut kemauan dan kemampuan untuk belajar
saling membina partner masing-masing. Jadi, bila seseorang tidak berani
menikah karena belum benar-benar cocok, itu sudah salah. Sampai kapan
Anda merasa cocok? Tentu saja saya tidak bermaksud untuk menganjurkan
pernikahan bagi mereka yang baru pacaran satu minggu atau satu bulan.
Bagi mereka yang baru pacaran, tentu saja belum memiliki pengenalan yang
cukup terhadap partner masing-masing.

Ataukah penundaan itu karena memang belum mendapatkan calon yang dapat
dijadikan teman hidup? Mengapa belum? Masih terlalu muda? Benarkah
demikian? Sudah berapa usia saudara sekarang? Kalau usia saudara sudah
di atas 20 tahun (untuk perempuan) atau 22 tahun (untuk pria) sudah
saatnya saudara berpacaran. Atau barangkali saudara sulit memulai
bagaimana menggumuli calon teman hidup saudara? Kalau demikian, kita
akan membahas hal itu di bawah ini.

Saya menyarankan ada enam langkah untuk menggumuli calon teman hidup.

Pertama, mendoakan.
Segala sesuatu dalam hidup kita harus dimulai dengan doa, terlebih lagi
masalah teman hidup. Anehnya, ada orang yang malu atau tidak mau
mendoakan masalah ini. Padahal, hal-hal
lain seperti ujian, mencari pekerjaan, mereka berdoa dengan
sungguh-sungguh. Mengapa ya? Apakah hal calon teman hidup ini kurang
penting didoakan? Atau hal itu kurang rohani? Menurut pendapat saya hal
ini malah sangat penting untuk didoakan dan sangat rohani. Itulah
sebabnya pada saat retret atau Bible Camp, saya berdoa agar kalau Tuhan
berkenan, ada follow up Bible Camp tersebut dalam hal menggumuli calon
teman hidup. Saya bahkan mendorong peserta retret untuk peka terhadap
pimpinan Tuhan akan hal itu. Tentu saja, itu dapat menjadi akibat, bukan
tujuan. Karena Tuhan Yesus sendiri bersabda: "Carilah dahulu kerajaan
Allah dan kebenaranNya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu."

Di negara kita, wanita memang agak ditabukan bila terlalu agresif dan
terlalu berinisiatif. Tapi tidak salah mendoakannya secara serius,
bukan? Wanita bisa berdoa kira-kira demikian, "Ya Bapa,
tunjukkanlah padaku siapa yang telah Tuhan sediakan. Tolonglah agar
hamba peka dan tahu. Pertemukan dia dengan hambaMu ini." Hal itu jugalah
yang saya lakukan sebelum berpacaran. Salah satu doa saya sebelum
menemukan calon adalah, "Ya Bapa, jadikan kami seperti magnit
dengan dua kutub yang saling tarik menarik. Tetapi tutuplah dan
angkatlah perasaan cinta terhadap siapapun yang bukan dari Tuhan."
Mungkin ada yang bertanya, "Sampai berapa lama tahap mendoakan ini
dilakukan? Satu minggu? Satu bulan? Satu tahun?" Berdoalah dalam waktu
yang cukup lama dan perhatikan suasana hatimu kepada seseorang yang
digerakkan Tuhan secara lebih khusus.

Kedua, meyakini.
Setelah saudara berdoa cukup lama, diharapkan Allah memberi keyakinan
dalam diri saudara. Maka saudara harus yakin bahwa itu adalah pilihan
Tuhan, bukan sekedar keinginan diri sendiri atau karena kecantikan
wajahnya. Karena itu, dalam masa ini, saudara dapat berdoa kira-kira
demikian, "Ya Bapa, bila orang ini adalah dariMu, peliharalah perasaan
hati saya kepadanya dan alihkan dari orang lain." Keyakinan tersebut
perlu dievaluasi. Setelah yakin, apakah itu berarti si dia akan berespon
positif terhadap cintamu kepanya? Jawabnya, belum tentu. Malah bisa
terjadi sebaliknya. Karena itu, meskipun memperhatikan respon si dia
tersebut penting, jangan terlalu bersandar pada responnya. Mengapa?
Karena bisa saja dia sedang salah menggumuli orang lain. Atau reaksinya
tidak jujur. Itulah kenyataan yang cukup sering terjadi. Karena ada
orang yang menunjukkan sikap negatif terhadap orang yang dia cintai.
Dalam konseling, seorang pria berkata kepada saya, "Justru kalau tidak
ada perasaan cinta, saya lebih bebas dan bertindak lebih hangat seperti
ada apa-apanya. Tapi kepada orang yang saya cintai, aduh, grogi, kaku.
Pernah sekali, saya dengan teman menyeberang jalan. Salah seorang di
antara teman yang menyeberang itu adalah orang di mana saya sedang jatuh
cinta. Ketika sedang menyeberang jalan, saya malah menjauhi dia dan
pura-pura akrab dengan perempuan lain."

Lain lagi dengan masalah wanita. Mereka memang agak kurang berani
menyatakan perasaannya. Kelihatannya tidak jujur dalam responnya.Seorang
pernah berkata, "Justru di situlah letak perbedaan wanita dengan seorang
diplomat. Bagi seorang diplomat, mengatakan, "yes" bisa
berarti "may be", dan mengatakan, "may be" bisa berarti "no". Karena
seorang diplomat tidak akan pernah terlalu berterus terang dalam
jawabannya dengan mengatakan "no" atau tidak terhadap sesuatu hal. Bila
dia terlalu terus terang seperti itu, dan berkata "no", maka berhentilah
dia sebagai diplomat. Sebaliknya dengan wanita. Perkataan "no" bisa
berarti "may be", sedangkan "may be", bisa berarti "yes". Dan kalau dia
mengatakan "yes," maka dia berhenti menjadi seorang
wanita. Itulah sebabnya kalau seorang wanita ditanya oleh seorang
temannya tentang perasaan dia terhadap seorang pria tertentu, dia bisa
menjawab "may be" (ya, kali) untuk seseorang yang sedang dia sukai.

Kembali kepada keyakinan tersebut di atas, kalau saudara telah memiliki
keyakinan terhadap seseorang, maka ujilah keyakinan tersebut dalam doa
di hadapan Tuhan. Kalau Tuhan ternyata meneguhkan, bersyukurlah dan
mohon agar Tuhan memelihara keyakinan tersebut. Kiranya saudara tetap
setia, sekalipun si dia kelihatan belum berespon positif terhadap
perasaan cinta saudara, dan malah semakin menjauh. Lalu berdoalah agar
Tuhan menyatakan pimpinanNya pada si dia sebagaimana Tuhan telah
memimpin saudara. Doakanlah agar pada waktunya Tuhan membawa dia kepada
saudara. Mungkinkah? Benarkah sikap demikian? Mungkin dan benar. Sudah
banyak contoh terjadi.

Suatu kali Nuni (bukan nama sesungguhnya) datang konseling kepada saya
mengenai hal ini. Dia menceritakan seseorang yang telah berdoa untuk
calon teman hidupnya (seseorang itu sebenarnya dirinya sendiri, tapi dia
memakai bentuk ketiga). Lalu dia melanjutkan bahwa kelihatannya Tuhan
menjawab dan memberikan keyakinan terhadap si Dodi (juga bukan nama
sesungguhnya). Namun, apa yang terjadi? Ternyata Dodi tidak memberi
respon positif kepadanya. Malahan Dodi tersebut
mencintai Shinta (sebutlah namanya demikian) dan sedang mencoba
mendekatinya. Nuni menge-tahui hal itu, karena Shinta adalah teman
baiknya. Lalu dalam konseling dia bertanya kepada saya, "Apakah
seseorang tersebut harus terus mendoakan Dodi atau meninggalkannya?"
Jawab saya ketika itu adalah, "Ujilah keyakinan yang sudah dimiliki,
apakah benar-benar perasaan itu merupakan pimpinan Tuhan, atau karena
keinginan diri sendiri. Kalau karena keinginan diri semata, mundurlah
dan mohon kekuatan dari Tuhan untuk melupakannya. Tapi, kalau memang
benar-benar dari Tuhan, tetaplah setia mendoakannya dan memberi
perhatian sewajarnya." Apa yang terjadi kemudian? Hasilnya, ternyata
keyakinan itu benar, karena selang beberapa waktu Dodi mulai memberi
perhatian kepadanya. Hal itu terjadi karena kemudian Dodi menyadari
bahwa Shinta bukanlah jawaban Tuhan atas pergumulannya. Mereka ini
kemudian menjalani masa berpacaran dan menikah dengan baik, serta telah
dikaruniai anak.

Ketiga, menjalin relasi secara diam-diam.
Tahap kedua tersebut di atas (keyakinan) harus dilanjutkan dengan
menjalin relasi secara halus. Dalam tahap ini saudara terus berdoa agar
Tuhan menyatakan kehendakNya semakin jelas. Kalau benar keyakinan tersebut di
atas berasal dari Tuhan, maka ketika saudara menjalin relasi, Tuhan yang
sama akan meneguhkan pergumulan itu. Mengapa? Karena Tuhan kita adalah
Tuhan yang konsisten. Banyak cara yang dapat dilakukan dalam menjalin
relasi secara diam-diam. Sebagai contoh, dengan meminjam buku,
menawarkan jasa mengantarkannya pulang setelah persekutuan, atau secara
bersama-sama melakukan suatu pekerjaan tertentu. Dalam sebuah seminar
mengenai topik ini, saya didampingi oleh pembicara lain, yaitu seorang
wanita. Pada saat itu, pembicara tersebut memberi saran paraktis kepada
seorang wanita yang sedang jatuh cinta kepada seseorang. Dia mengatakan,
"Bila Anda sudah tertarik kepadanya, cobalah beri perhatian ketika dia
sedang berbicara. Kalau ada acara-acara kelompok, secara halus duduklah
di dekatnya. Jangan malah menjauh dan pura-pura tidak suka, padahal
sebenarnya jantung Anda dag dig dug." Dengan adanya tahap ketiga ini,
berarti kita menolak cara meyakini teman hidup secara sepihak, seperti mengurung diri di rumah
atau menjauhkan diri dari pertemuan-pertemuan. Justru sebaliknya yang
harus dilakukan: harus bergaul, ada kesempatan mengenal dan dikenal.
Kita tidak menganjurkan menggumuli calon teman hidup seperti orang
membeli kucing dalam karung. Masih ingat contoh Adam dan Hawa? Setelah
Allah memutuskan menjadikan penolong baginya (Kej.2: 18), selanjutnya
Allah membawa wanita tersebut kepadanya (ayat 22). Ada pertemuan, bukan?
Dan di saat bertemu itulah Adam berkata, "Nah, ini dia tulang
dari tulangku..." (Kej.2: 23).

(Selanjutnya baca buku saya: Bagaimana Kristen Berpacaran, diterbitkan
oleh Perkantas Nasional, divisi literatur. Email: "Literatur Perkantas"
litanas@cbn.net.id. Telp. 021-82404937)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar