Jumat, 06 Januari 2012

Etika KristenPDFPrintE-mail
Written by Aripin Tambunan   
Saturday, 14 November 2009
Article Index
Etika Kristen
Page 2
Page 3
Page 4
Page 5
Page 6

Keunggulan Etika Kristen
      L. Wilardjo menjelaskan bahwa, beberapa pemikir katolik membedakan antara etika dan moral berdasarkan asumsi bahwa moral itu alkitabiah (scriptural) sedang etika itu alamiah (natural).[12] Hal tersebut berdasarkan keyakinan, bahwa aturan moral asalnya dari Firman Allah, sedangkan aturan etika didapatkan dengan cara bersosialisasi dengan lingkungan sekitarnya. Benarkah pembedaan ini? Untuk itu baiklah diperiksa terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan etika.  "Etika" berasal dari kata “ethikos”, "ethos" (Yunani) yang berarti adat atau kebiasaan yang di dapat melalui gen (genetik). Jadi dengan kata lain etika dapat pula disebut sebagai "watak." Sedangkan  moral berasal dari kata “moralis”—“mos”, "moris" (Latin) yang berarti adat istiadat,  kebiasaan, cara, tingkah laku atau kelakuan dan beberapa pemikir mengartikannya sebagai tabiat.
Dari arti kata di atas, tidak ada perbedaan antara etika dan moral. Cicero yang pertama kali memperkenalkan kata moralis juga tidak membedakan arti kata antara etika dan moralis. Namun Wilardjo memberikan pembedaan dengan mengatakan bahwa, etika lebih genetik, sedang tabiat lebih "memetik". Artinya genetic atau gen (genes) dapat diturunkan melalui proses perkembangbiakan, sedang tabiat atau "mem" ("memes") melalui imitasi dan induksi yang terjadi dalam hubungan sosio-kultural, baik secara langsung, maupun tak langsung dengan melalui  teknologi informasi dan komunikasi. Meskipun demikian, ia menjelaskan bahwa antara etika dan moral tidak perlu dibedakan.
Etika Kristen yang saya maksudkan di sini adalah, etika alkitabiah. Etika sebagaimana yang termaktub di dalam Perjanjian Baru (PB) dan Perjanjian Lama (PL). Jika dilihat di dalam PL, etika yang ada di sana seolah-olah etika itu datang dari Tuhan, bukan datang dari kesadaran moral manusia-manusia PL. Dengan demikian, seolah-olah etika tersebut hanya merupakan sarana bagi bangsa Isarel dan bukannya tujuan. Dikatakan sarana, karena bangsa Israel hanya menjalankan aturan etika yang datang dari luar (baca: Tuhan), dan bukan dari kesadaran moral mereka sendiri (tujuan). Hal tersebut dapat dipamahi mengingat, bangsa Israel adalah bangsa yang memiliki agama Yudaisme. Yudaisme adalah agama yang datang dari Tuhan (baca: wahyu Tuhan), itu sebabnya segala aturan yang ada, baik mengenai perilaku hidup kemasyarakatan, penyembahan, perekonomian, keluaga, seks, dan pendidikan, datangnya dari Tuhan.
Demikian juga dengan etika Kristen, pada awalnya datang dari luar (baca: Tuhan). Etika diberikan Tuhan melalui wahyunya (baca: Alkitab) untuk dijadikan pedoman dalam etika berkehidupan. Di sini terlihat pada awalnya etika Kristen merupakan sarana, belum berfungsi sebagai tujuan. Itu sebabnya etika Kristen, tidak berhenti sampai di sana. Etika Kristen harus sampai kepada tujuan, bahwa seseorang melakukan yang baik atau menolak yang jahat bukan karena itu merupakan perintah yang datang dari luar; tetapi datang langsung dari kesadaran moralnya.
Persoalan ini dikatakan Rudolf Bultman dalam Victor Paul Furnish, sebagai persoalan pernyataan indicative dan imperative.[13] Di satu sisi seorang Kristen melaksanakan etika karena itu merupakan perintah dari Tuhan, sehingga itu bukan datang dari kesadaran moralnya. Persoalan ini dapat diselesaikan dengan apa yang dikatakan Bultman ini, “Because the Christian is freed from sin through justivication, he ought to wage war against sin.”[14] Oleh karena itu, seorang Kristen melaksanakan etikanya (perang terhadap dosa), bukan lagi berdasarkan imperative (perintah), tetapi berdasarkan indicative (kenyataan).
Jika hal ini mampu dilakukan seorang Kristen, maka orang tersebut adalah orang Kristen dewasa. Seorang anak melakukan yang baik dan menolak yang jahat, itu dilakukan karena ingin taat atau takut terhadap hukuman. Sebaliknya orang dewasa, menolak yang jahat dan melakukan yang baik, bukan lagi karena unsur ketaatan karena ketakutan pada hukum; melainkan karena pilihan yang datang dari kesadaran moral yang telah tertanam di dalam hatinya.
Kesadaran moral yang dimiliki seseorang memperlihatkan bahwa orang tersebut telah dewasa dalam kesadaran. Tetapi kedewasaan di dalam kesadaran, tidak cukup untuk mengerakkan seseorang melakukan yang “baik” dan menolak yang “buruk”.  Mengapa? Karena manusia memiliki kecenderungan untuk melakukan hal yang tidak baik dalam kehidupannya. Meskipun seseorang tahu yang baik dan kesadaran moralnya juga mengharuskan atau mewajibkan ia untuk melakukan yang baik, namun belum tentu orang tersebut mau melakukannya. Hal tersebut terjadi oleh karena polusi-polusi yang terjadi di dalam hati nurani seseorang, pertimbangan-pertimbangan yang terjadi pada bathin seseorang, dan keterbatasan seseorang untuk melakukannya. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar