Jumat, 06 Januari 2012

The Power Of ReligionPDFPrintE-mail

The Power Of Religion[1]
Oleh
Aripin Tambunan

Pendahuluan
            Kekuatan dan otoritas agama sejak masa renaisans hingga kini telah mengalami gugatan. Gugatan tersebut disebabkan beberapa hal yang terjadi, seperti: Pertama, doktrin yang ada di dalam agama tertentu tidak dapat digugat, dipertanyakan kebenarannya. Agama menjadi tertutup atau kebal terhadap seluruh kritikan yang datang atasnya. Hal tersebut terjadi karena pada dasarnya, agama muncul dengan basis pendidikan doktrin.  Pada hal pendidikan yang mengacu pada doktrin, terkadang menjadi pendidikan yang membelenggu akal budi, karena seseorang diharuskan berpikir sesuai dengan doktrin. Mengapa demikian? Karena memang demikianlah sifat doktrin seperti yang diutarakan oleh Edgar Morin (2005: 24),[2] yaitu doktrin-doktrin adalah teori-teori tertutup yang secara mutlak yakin akan kebenarannya dan kebal terhadap semua kritik yang menunjukkan kekeliruannya. Walters memberikan suatu hukum mengenai hal ini yang ia sebut namanya hukum proliferasi dogmatik yaitu, kecenderungan dogmatik meningkat berbanding langsung dengan ketidak mampuan seseorang untuk membuktikan suatu pendapat
(2003: 21).
Memang agama harus ada pada posisi pendidikan doktrin, sebab jika tidak, maka akan tidak ada keseragaman di dalam satu agama. Bukan hanya itu, setiap orang yang ada di dalam satu agama tertentu akan mengalami kebingungan tentang mana yang benar dan mana yang tidak di dalam ajarannya, karena tidak ada doktrin yang menjadi pegangan bagi penganutnya. Tetapi harus dilihat juga, bahwa ada sisi negatif dari pendidikan doktrin. Sisi negatif itu muncul berbarengan dengan sisi egois dan tertutupnya pemimpin-pemimpin agama. Akibatnya, menempatkan doktrin agama di atas dari kebenaran. Semua kebenaran yang ada telah menjadi tertutup bagi doktrin. Karena pola pikir ini, maka jika ada satu pemikiran yang berbeda dengan doktrin, pemikiran tersebut harus disingkirkan (dibelenggu) sekalipun itu benar. Hal itu tentu telah membuat beberapa orang dari para pemeluk agama, dibuat tak berdaya, terpenjarakan dalam pemikiran.
Akibat dari sistem tertutup yang diterapkan oleh pemimpin-pemimpin agama, maka muncullah efek sampingnya, yaitu umat beragama menjadi fanatik. Umat beragama menjadi tidak mengerti hakekat agamanya, yang ada di dalam dirinya menjadi fanatisme terhadap agamanya. Fanatisme datang tidak dari sisi rasional manusia, hal tersebut datang dari sisi ego dan keangkuhan hidup. Efek samping fanatisme agama inilah yang dapat membuat beberapa orang dari pemeluk agama dapat membunuh atas nama Tuhan atau agama. Jika demikian, dapatkah dikatakan agama bersalah, sehingga keberadaannya harus ditolak? Atau para pemimpinnya yang kurang bijaksana?
Kedua, agama digugat karena dalam penyiarannya/ penyebarannya dilakukan berdasarkan tawaran kesuksesan dan kemakmuran. Itu sebabnya, tidak heran pada masa kini, agama telah dijadikan komoditi. Barangkali inilah yang dikatakan Piliang,
Berbaurnya gaya hidup antara yang profan dengan yang spiritual, merupakan fenomena kehidupan spiritual dalam masyarakat kontemporer; di mana masyarakat kontemporer dicirikan dengan, kegandrungan pada budaya popular, budaya komoditas, gaya hidup konsumerisme, dan permainan citra, yang mana pada tingkat kedalaman tertentu telah menyeret berbagai realitas ritual keagamaan kepada pendangkalan dari makna dan nilai-nilai hakikinya (Ibid, 2004: 336).
Akibatnya, jika seseorang yang menerima tawaran tersebut dan ternyata ia tidak mengalami kesuksesan ataupun kemakmuran, maka ia akan kecewa terhadap agama yang dipeluknya dan akan meninggalkan agama tersebut.
Ketiga, agama digugat karena bertentangan dengan kebenaran sains. Hal ini dapat dilihat diuniversitas-universitas Jerman dimulai pada akhir abad 18. Pada akhir abad 20, universitas-universitas di Amerika telah memenangkan otonomi dari gereja, sehingga universitas menjadi saingan berat dari gereja dalam membentuk alam pikiran manusia saat itu. Akibatnya terjadi perubahan di dalam masyarakat. Perubahan tersebut dapat terlihat mulai dari kebiasaan dalam hal tata nilai moral, struktur kemasyarakatan, sistem kekerabatan, dan religius,  yang digantikan dengan paham-paham yang datang dari pendidikan modern, seperti: empirisme, nihilisme, dan pragmatisme.
Di Amerika setiap anak bersekolah dan dalam sekolah publik hanya jawaban sains atas pertayaan asal muasal manusia yang boleh diajarkan. Itu sebabnya berbagai upaya dilakukan sejak 1925 (Tennessee), 1982 (Arkansas), 1987 (Louisiana), agar Tuhan dapat dibicarakan di universitas-universitas Amerika. Namun sayang, usaha tersebut terus menerus ditolak pihak pengadilan.
Keempat, agama digugat karena dijadikan alat penguasa. Lihat misalnya Marx, ia melihat Kekristenan sebagai ideologi yang melayani penguasa, dimana disetiap sudut dan celahnya menyembunyikan kepentingan borjuis (Fattah, 2004, 111-119). Maka tidak heran ia mengatakan, agama itu candu bagi masyarakat. Lalu ia menolak Tuhan, kekristenan, dan menggantikannya dengan materialisme, dimana agamanya adalah sosialisme.
            Kelima, agama digugat karena seseorang tidak dapat memahami ajaran-ajaran (teori) tentang Tuhan, nabi-nabi dan pengorbanan-pengorbanan yang terdapat di dalam agama tertentu. Hal ini dapat terlihat dalam pribadi Russell. Ia menjadi agnostik karena tidak dapat menerima Elia yang membunuh anak-anak, hanya karena ia diejek anak-anak tersebut. Contoh lain lagi, dapat dilihat pada pribadi David Hume, menolak Tuhan karena, Tuhan tidak dapat diterima dalam teori yang ia kembangkan,  indra à kesan à gagasan. Tuhan tidak dapat diindrai, sehingga konklusinya, Tuhan itu tidak ada.
Nietzsche misalnya, dalam rumusannya tentang tangga besar kekejaman agama. Menurutnya dalam Beyond Good and Evil, Tangga besar kekejaman agama memiliki banyak anak tangga, tetapi ada tiga anak tangga yang paling penting yaitu, pertama, Once on a time men sacrificed human beings to their God, and perhaps just those they loved the best; Finally, what still remained to be sacrificed; kedua, was it not necessary in the end for men to sacrifice everything comforting, holy, healing, all hope, all faith in hidden harmonies, in future blessedness and justice? (Bukankah orang-orang akhirnya harus mengorbankan segala sesuatu yang menyenangkan, suci, segala kemampuan, semua harapan, semua keimanan dalam keharmonisan tersembunyi, bagi kebahagiaan dan keadilan pada masa mendatang?) Ketiga, To sacrifice God for nothingness (mengorbankan Tuhan demi ketiadaan) (1954: 440). Tidak heran jika ia mengatakan,religions are the business of the mob; after coming in contact with a religious man, I always have to wash my hands… I Want no “believers” (ibid., 923)
Keenam, agama digugat karena agama diejawantahkan dengan semangat keberagamaan yang dilandasi oleh semangat absolutism, sehingga menimbulkan bahaya yang sangat memprihatinkan bagi berkehidupan di dalam masyarakat. Ingat misalnya, perbuatan  inkusisi Spanyol, yang menyiksa dan membakar para bidaah ditiang kayu salib atas nama Tuhan.

Dimanakah Kebersalahan Agama?
Awal mula gugatan terhadap agama dapat terlihat sejak penentangan gereja terhadap pengetahuan pada abad 16-17. Gereja pada waktu itu beserta seluruh otoritasnyanya, dapat melakukan kekerasan bila ada yang mencoba merubah dogma yang dipegang gereja. Itulah sebabnya, Galileo harus dipenjarakan, karena berusaha merubah doktrin yang dipegang gereja pada waktu itu. Gereja memiliki doktrin bahwa dunia merupakan pusat alam semesta (geosentris), tetapi Galileo mengatakan tidak, mataharilah yang menjadi pusat alam semesta (heliosentris).
Karena keadaan gereja yang demikian pada waktu itu, maka muncullah sikap skeptis di kalangan ilmuwan. Dogma tidak lagi dipegang teguh, tetapi ilmu pengetahuan mulai berkembang tanpa dapat dikontrol oleh gereja. Descartes mengatakan bahwa segala sesuatu perlu diragukan, Thomas Hobbes, John Lock, dan David Hume, berdiri pada aliran empirismenya, dan August Comte  serta J. S. Mill, pada positivisme. Lalu dimanakah gereja? Iman menjadi tertinggal, tidak lagi ditekuni, sementara pengetahuan terus berkembang, akibatnya manusia bertumbuh ke arah pengagungan pengetahuan yang berlebihan.
 Jika dilihat dari dari hal-hal di atas, maka muncul pertanyaan, sebenarnya dimanakah kebersalahan agama sehingga ia digugat? Bijaksanakah bila menggugat institusi agama, pada hal yang bersalah bukanlah system atau institusi itu tetapi manusia-manusia yang ada di institusi tersebut. Bijaksanakah jika karena teori-teori pengetahuan partial yang tidak dapat diberlakukan secara universal ( mis: teori empirisme tidak berlaku universal, karena empirisme dapat menjadi falibilisme, atau indra dapat menipu) yang dikembangkan seseorang, sehingga karena teori partial tersebut diberlakukan kepada agama dan menolak agama? Bijaksanakah jika karena tidak dapat memahami ajaran-ajaran agama tertentu (karena jika ingin memahami ajaran-ajaran agama tertentu haruslah mengalaminya ‘encounter’ pada hal ia sendiri tidak mengalaminya, ia hanya berada di luarnya saja), lalu menggugat agama?
Apakah agama itu? Durkheim mengatakan,
A Religion is a unfied system of beliefs and practices relative to sacred things. That is to say, things set apart and forbidden -beliefs and practices which unite into one single moral community called a church, all those who adhere to them.(agama adalah kesatuan system kepercayaan dan praktek-praktek yang berkaitan dengan yang sacral, yaitu hal-hal yang disisihkan dan terlarang -kepercayaan dan praktek-praktek yang menyatukan seluruh orang yang menganut dan menyakini hal-hal tersebut ke dalam satu komunitas moral yang disebut gereja) (2006: 80).
            Jika agama adalah system kepercayaan, maka bila terjadi kesalahan di dalamnya, akan muncul dua praduga untuk itu. Pertama, system yang memang salah atau kurang tepat; kedua, orang yang menjalankan system yang salah, kurang bijak.  Dengan demikian, jika seseorang ingin menggugat agama, ia harus mengerti terlebih dahulu, dibahagian manakah yang salah? System atau orang yang menjalankannya?
             
Dampak Penyingkiran agama dalam Berkehidupan
Penyingkiran agama, menimbulkan konsekuensi yaitu, pertama, pengetahuan datang dari persepsi indrawi (empirisme). Artinya, pengalaman merupakan sumber pengetahuan. Karena paham yang demikian, maka mereka tidak dapat menerima ide tentang Tuhan. Kedua, muncul paham nihilis. Tidak ada nilai dan pengetahuan yang pasti. Akibatnya manusia berjalan pada ketiadaan apapun. Bahkan mereka tidak tahu untuk apa mereka hidup. Mereka ada karena proses alamiah yang sedang menuju kepada ketiadaan. Dengan demikian manusia bagaikan robot hidup yang diprogram oleh pendidikan modern.
Ketiga, orang-orang yang menyingkirkan agama, bukan berarti mereka tidak beragama. Agama mereka ialah kepercayaan kepada pengetahuan yang dapat mensejahterakan mereka ketika masih hidup di dunia ini. Tidak ada hari esok, tidak ada kebangkitan orang mati. Karena menurut mereka, kehidupan yang kita ketahui hanyalah kehidupan yang ada di dunia ini. Dunia lain, itu tidak dapat dimengerti, karena tidak dapat dimengerti secara empiris. Maka  ungkapan yang mereka pakai adalah, yang riel itu yang nyata, yang nyata itu yang riel (rumusan Hegel).
Agama pengetahuan, tidak membutuhkan ritual-ritual ibadah. Sebab di sana tidak ada satu pribadi yang harus dipuja, disembah ataupun ditakuti. Agama pengetahuan adalah agama yang memaksimalkan seluruh kemampuan otak untuk mencapai kesejahteraan duniawi. Itu sebabnya, ukuran yang dipakai dalam agama pengetahuan untuk menyatakan seseorang itu religius adalah, seberapa genius, dan seberapa makmur hidupnya; itulah religiusitas mereka.
Ritual agama pengetahuan berisi pujian yang didendangkan alam, doa dipanjatkan melalui rumus-rumus dari teori matematika, fisika, kimia, dan ekonomi, yang dapat menjawab kebutuhan hidup mereka. Tidak ada tata ibadah atau skramen khusus sebagaimana terlihat bila berlangsung satu peribadahan keagamaan. Sebab itu ritual mereka, tidak seperti ritual keagamaan tradisi yang dapat membatasi kebebasan mereka dalam berpikir, bertindak, dan berperilaku. Satu-satunya patokan bagi mereka untuk bertindak, berpikir, dan berperilaku adalah kebebasan yang tidak merugikan orang lain (libertinisme).
Keempat, orang-orang yang tidak memiliki agama, mengukur nilai dari sutau perbuatan/perilaku, diukur berdasarkan ketepat-gunaan dari suatu tindakan/ perilaku tersebut. Kalau sesuatu itu berdaya guna, meskipun itu melanggar nilai-nilai tradisional dan merusak, maka itu dibenarkan untuk dilakukan. Daya guna merupakan alat ukur dalam segala-galanya, apapun boleh asal berdaya guna pada manusia. Jika apa yang dilakukannya merusak, maka ada rasional instrumental yang dapat digunakan sebagai alat pembunuh hati nurani dan alat pembenaran pada tindakan tersebut.
Gaya hidup pragmatis inilah yang menjadi pengatur gerak, tindakan orang-orang yang menyingkirkan agama. Itu sebabnya, jika seorang pria membutuhkan seks, ia tidak perlu menikah. Ia cukup melampiaskan hawa nafsunya dengan wanita-wanita manapun yang ia suka, yang dapat ia bayar. Praktis, bukan! Karena filosofi mereka adalah, jika ingin makan daging sapi, tidak perlu harus memelihara sapinya, toh banyak daging sapi yang dijual di pasar. Untuk apa harus membebani hidup dengan tanggungjawab terhadap anak dan istri. Tanggungjawab itu merupakan sesuatu hal yang menyebalkan mereka, bagi mereka hidup ini praktis ajalah. Karena hidup itu sendiri telah sulit, untuk apa dipersulit lagi. Nikmatilah hidup, praktis bukan!

Kekuatan Agama
Melihat uraian di atas, maka marilah melihat kekuatan agama pada kehidupan umat manusia.
Pertama, melalui agama, seseorang dapat mengetahui adanya dua sisi dari akal manusia, yaitu: satu sisi rasional dan satu sisi suprarasional. Pengetahuan modern yang bertumpu pada empirisme tidak dapat melihat hal tersebut. Ia hanya dapat berdiri sebagai particular, sebab hanya melihat satu sisi saja. Dengan kata lain, agama berada dipuncak suatu bukit yang dapat melihat kesekeliling bukit dengan jelas. Pengetahuan modern hanya berada dipertengahan bukit, sehingga ia tidak dapat melihat dengan jelas keseluruh sisi bukit.
Kedua, agama dapat menghantarkan seorang manusia menjadi baik, pintar dan bijaksana. Karena agama mengajarkan seseorang agar hidup dengan takut pada Tuhan. Orang yang hidup takut pada Tuhan, akan menjadi baik, pintar dan bijaksana. Sebab awal dari segala pengetahuan adalah takut akan Tuhan. Contoh: dua dokter Rusia yang ingin menghidupkan gajah purba. Kedua dokter tersebut terus mengupayakan agar gajah tersebut dapat hidup kembali, tetapi uasaha mereka sia-sia (dalam hal ini mereka kelihatan seperti orang bodoh). Karena ilmu pengetahuan macam apapun tidak dapat menghidupkan materi menjadi mahluk hidup, paling banter materi berubah menjadi energy (E=MC2).
Ketiga, agama menjadikan spiritualitas yang dimiliki seseorang menjadi jelas dan bermakna.  Sebab, melalui agama, seseorang mengenal Tuhan, yang dipuja, disembah, ditakuti, dan dihormati, sebagai tempat landasan dan acuan terhadap ukuran spiritualitas itu sendiri. Jika tidak ada satu pribadi yang demikian, maka spiritualitas itu menjadi absurd dan tak bermakna. Itulah sebabnya, Tuhan yang harus ditempatkan sebagai patokan dan acuan spiritualitas, agar spiritualitas itu menjadi jelas dan bermakna.

 Keempat, topic-topik yang diajarkan agama adalah kematian, immortalitas, Moral, Tuhan, iman, surga dan neraka. Tidak dapat diajarkan oleh pengetahuan modern, sebab hal itu merupakan kemustahilan baginya. Leo Tolstoy mengatakan: Ketika seorang primitive berhenti percaya pada berhala kayunya, itu tidak berarti bahwa tidak ada Allah, tetapi hanya berarti bahwa, Allah yang benar tidak terbuat dari kayu.
Daftar Pustaka

Durkheim, Emile,
            2006    Sejarah Agama, Yogyakarta: IRCiSod

Smith, Huston,
            2003    Ajal Agama di Tengah Kedigdayaan Sains, Bandung: Mizan

Morin, Edgar,
2005    Tujuh materi Penting Bagi Dunia Pendidikan, Yogyakarta: Kanisius.

Nietzsche, Friedrich,
1954    The Philosophy of Nietzsche, New York: The Modern Library.

Shanks, Andrew,
            2003    Agama Sipil, Yogyakarta: Jalasutra

Smith, Wilfred C.,
            2004    Memburu Makna Agama, Bandung: Mizan

Walters, J. Donald,
2003    Crisis in Modern Thought: Menyelami Kemajuan Ilmu Pengetahuan dalam Lingkup Filsafat dan Hukum Kodrat, Jakarta: Gramedia.




[1] Makalah diskusi bulanan di Institut Teologi Inti, Bandung, pada tanggal 11 Maret 2009, pukul 17.00 wib
[2] Ia menuliskan hal tersebut ketika ia diminta oleh UNESCO untuk menuliskan gagasannya tentang pendidikan masa depan. Ia memberikan tujuh materi penting tentang pendidikan masa depan, dan salah satunya ialah mendeteksi kekeliruan dan ilusi. Dan dalam salah satu kekeliruan dan ilusi dalam dunia pendidikan adalah kekeliruan intelektual yang mencakup teori, doktrin dan ideologi.
Last Updated ( Friday, 04 December 2009 )
 
< Prev Next >
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar