Jumat, 06 Januari 2012

Etika KristenPDFPrintE-mail
Written by Aripin Tambunan   
Saturday, 14 November 2009
Article Index
Etika Kristen
Page 2
Page 3
Page 4
Page 5
Page 6
Karena keterbatasan tersebut diperlukan Roh Kudus, yang akan membersihkan polusi-polusi tersebut dan Alkitab sebagai pedoman untuk bertindak atau berperilaku. Akibatnya, akan muncul kesadaran moral yang telah dimurnikan di dalam diri seseorang, dan seorang dewasa akan melakukan kesadaran moral tersebut di dalam kehidupannya sebagai pilihan yang diejawantahkan sebagai tindakan kesadaran moralnya. Dengan demikian, ia akan mengetahui secara langsung apakah tindakan yang sedang ia lakukan itu “baik” atau “buruk”. Di sinilah  etika Kristen melampaui etika alamiah. Etika alamiah berhenti pada kesadaran moral yang cacat, karena telah terpolusi oleh, budaya, kebiasaan umum atau individu. Tetapi etika Kristen tidak berhenti pada kesadaran moral yang cacat, ia menerobos sampai pada pembersihan polusi-polusi tersebut berkat adanya Roh Kudus dan Alkitab yang menuntun tingkah laku seseorang.
Meskipun demikian, etika Kristen belumlah lengkap jika hanya memiliki pedoman yang lengkap untuk bertindak dan berperilaku, sekalipun polusi-polusi tersebut telah dibersihkan oleh Roh Kudus. Etika Kristen akan lengkap jika kasih dan hati nurani digunakan sebagai dasar atau motivasi dalam bertindak dan berperilaku. Mengapa? Karena meskipun seseorang telah mengetahui petunjuk-petunjuk dalam berperilaku, seseorang dalam melakukannya belum tentu dapat melakukannya dengan benar. Mengapa? Karena tiap situasi dalam suatu tindakan, terkadang tidak memiliki rumusan baku atau prinsip umum yang dapat berlaku umum dan mutlak dalam suatu kehidupan. Suatu contoh misalnya dengan apa yang diungkapkan Yesus pada Lukas 10: 25-37. Di sana Yesus tidak mendefinisikan suatu tindakan yang harus dilakukan oleh seseorang, bila ia menghadapi situasi seperti itu.  Berangkat dari teks tersebut, Wolfgang Schrage merujuk apa yang dikatakan Bultmann mengatakan, “Jesus never says anywhere what one should do or not do; this would see human existence as fundamentally quaranteed, so that we have control over the range of action that can confront us.[15] Tetapi  Yesus meminta dan mengharapkan kita, “that we will know what is good and what is evil in any given situation requiring a decision.”[16] Sebab memang banyak tindakan-tindakan etis yang konkret yang belum tercatat di dalam Alkitab untuk dijadikan sebagai pegangan atau prinsip dalam berperilaku dan bertindak. Itulah sebabnya Yesus memberikan hukum kasih dalam bertindak dan dalam berperilaku dengan berkata, "Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu. Itulah hukum yang terutama dan yang pertama. Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri (Mat 22:37-39).
Di dalam bertindak dan berperilaku, kasih melampaui dari mengetahui yang “baik” dan yang “jahat”. Sebab kasih di dalam berperilaku dan bertindak di atas pengetahuan apupun tentang etika. Kasih sebagaimana yang diutarakan 1 Korintus 13: 4-7, adalah kesempurnaan dari seluruh tindakan etis manusia.
Hati nurani berfungsi untuk merekam segala keputusan etis yang dilakukan seseorang, rekaman tersebut akan menuntut tanggungjawab seseorang terhadap tindakan dan perilakunya.[17] Eduard Lohse mengatakan, “Since a conscience has been given to every human being, all know that they are called to a responsible manner of life.”[18]
Akhir kata, Tuhan betapa sempurnanya hukum-hukum Mu, tak sanggup aku menggapainya, terlalu tinggi pengetahuan itu bagiku. Namun di dalam kasih sayang-Mu, Engkau rela mengungkapkan sebahagian hukum-hukum-Mu kepada-ku. Aku tersanjung dan sujud menyembah pada-Mu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar