Jumat, 06 Januari 2012

Etika KristenPDFPrintE-mail
Written by Aripin Tambunan   
Saturday, 14 November 2009
Article Index
Etika Kristen
Page 2
Page 3
Page 4
Page 5
Page 6
Etika Kristen Melampaui Etika Alamiah
Oleh
Aripin Tambunan

Pendahuluan
Bila dilihat dalam ranah Filsafat, maka persoalan etika sebenarnya telah terlihat nyata dalam kehidupan Yunani klasik. Para sofis telah muncul sebagai ahli pikir yang kritis, namun tidak lagi mengutamakan kebenaran. Bagi mereka yang terpenting adalah memenangkan perdebatan, itu sebabnya mereka lebih mengembangkan ilmu retorika. Mereka menghantam sendi-sendi moralitas yang ada dengan satu pemikiran moralitas baru dengan berkata, bahwa “baik” dan “buruk” merupakan masalah keputusan bersama daripada suatu aturan abadi. Menurut mereka aturan tidak abadi, apalagi dapat berlaku umum. Itu sebabnya mereka mengeluarkan pemikiran-pemikiran baru, di mana dua orang yang terkenal dari mereka adalah Protagoras, “Manusia adalah ukuran segalanya” (kebenaran relatif, kebenaran tidak lagi tergantung pada isi) dan Georgias, “Kebenaran itu memang sudah tidak ada lagi, (Nihilisme).
    
     Bila manusia ukuran segalanya, maka ”baik” dan ”buruk” pun adalah soal masalah kesepakatan bersama saja, tidak lebih dari itu. Akibatnya norma etika hanya dapat berlaku pada suatu tempat tertentu dengan kesepakatan bersama. Dengan demikian, maka orang-orang yang tinggal di suatu desa yang keseluruhannya mereka memiliki pekerjaan sebagai perampok, akan membuat aturan etika bagi mereka dengan kesepakatan bersama, bahwa barang siapa dapat merampok lebih besar dan sadis, maka ia adalah manusia bermoral dan terhormat. Dan barang siapa yang tidak melakukan perampokan adalah orang yang tidak bermoral. Ukuran moral tergantung dari ”siapa”  dan ”di kelompok mana Anda berdiri sebenarnya.
Pemikiran seperti ini mendapat banyak tantangan dari para filsuf sejati yang bukan sofis. Mereka mengeluarkan teori-teori etika, seperti imperatif kategoris, bahwa hukum moral ada di bathin dan sifatnya wajib  (Kant), demikian juga dengan etika imperatif tanggungjawab, yang memberikan dalil perlunya tanggungjawab untuk kelangsungan umat manusia dari Hans Jonas[1], dan etika hukum kodrat (Thomas Aquinas), dimana hidup menurut hukum kodrat bukanlah untuk hidup sesuai dengan peraturan Tuhan. Tetapi memang sesuai dengan hidup yang meski dijalankan manusia. Hal tersebut terjadi karena manusia memiliki hati nurani.[2]
Pemikiran-pemikiran tersebut berkembang dengan pesat, bahkan sampai memunculkan etika nihilisme. Namun kemudian beberapa pemikir kontemporer seperti Umberto Eco, magnis Suseno, dll., berdiri ditengah dengan menempatkan etika alamiah sebagai etika yang paling rasional ketimbang etika yang lainnya. Memang etika tersebut rasional, namun memiliki keterbatasan-keterbatasan atau ”belum lengkap” sebagai etika yang mumpuni. Mengapa? Hal itulah yang mau dijelaskan dalam artikel ini.
Last Updated ( Tuesday, 24 August 2010 )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar